Kamu takkan pernah sanggup sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata : Cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya hidup tanpa daya cipta. Keecuali ketika Ruh cinta Menyentuhnya, Seketika itu ia Hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka atau syahwat.[1]
Disaat harus diusir oleh kedua ayahnya dari rumah, tapi ia tetap lembut dan dengan adab yang baik menjelaskan tentang cinta misi di dunia dari Sang Kholiq kepada ayahanda agar meninggalkan praktik syirik dan kufur. Nabi Ibrahim menerima kemarahan ayahnya, pengusirannya dan kata-kata kasarnya dihdapi dengan sikap tenang, normal selaku anak terhadap ayah seraya berkata: " Oh ayahku! Semoga engkau selamat, aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan akan tinggalkan kamu dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku tidak menjadi orang yang celaka dan malang dengan doaku utkmu." Lalu keluarlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih dan prihatin karena tidak berhasil mengeluarkan ayahnya dari lembah syirik dan kufur.
Disaat harus menerima kenyataan akan dibakar hidup2 oleh kaumnya, karena perbuatannya mengahancurkan berhala2 yang disembah oleh masyarakat pada saat itu. Di saat itu pula ia harus menerima kenyataan tiap penduduk secara gotong-royong mengambil membawa kayu bakar sebanyak untuk membakar dirinya. Disaat ia didatangkan dari sebuah bangunan yang tinggi lalu dilemparkanlah ia kedalam tumpukan kayu yang menyala-nyala itu dengan iringan firman Allah:" Hai api, menjadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim." Ibrahim AS tenang dan tawakkal karena iman dan keyakinannya bahwa Allah tidak akan rela melepaskan hamba pesuruhnya menjadi makanan api dan kurban keganasan orang-orang kafir musuh Allah. Dan ternyata hanya tali temali dan rantai yang mengikat tangan dan kakinya yang terbakar hangus, Nabi Ibrahim didalam Api malah terasa dingin tubuhnya, sebagaimana Firman ALLAH terhadap api.
Disaat harus menyembelih anak satu2 nya, Ismail AS, yang telah di tunggu2 kehadirannya sejak jauh2 hari, dan Ismail pun hanya berkata : “Ayahku, sekiranya ini merupakan wahyu dari Allah S.W.T., aku sedia merelakan diriku untuk disembelih.” Dan pada tempat lokasi Ismail akan disembelih, ismail pun masih berkata : “Wahai ayahku, aku fikir cara yang baik untuk menyembelih adalah dengan cara aku disembelih dalam keadaan menelungkup tapi mata ayah hendaklah ditutup. Kemudian ayah hendaklah tahu arah pedang yang tajam dan ayah kenakan tepat kepada leherku.”yang kemudian ALLAH ganti Ismail dengan seekor kibas. [2]
Begitulah Nabi Ibrahim AS yang dengan cinta nya bisa mengalahkan kepentingannya, keinginannya dan Memenangkan ALLAH atas dirinya. Seperti itulah cinta ketika dia sudah bekerja dalam tubuh seorang hamba, pada saat Pemuda dan pada saat menjadi seorang Ayah. Ibrahim AS membiarkan cintanya agar selalu berada pada kondisi dimana Cinta yang paling Utama adalah hanya Kepada ALLAH.
Dan begitulah Ibrahim dan Ismail menganggap cinta misi berawal dan berujung pada satu dan hanya satu nama : Allah Subhanahu Wata’ala. Disini ada Hirarki. Cinta menjadi lurus dan benar ketika ia menyesuaikan dengan Hierarki ini.
Innahu min ibadinal mu’minin.(Sungguh, Dia (Ibrahim) termasuk hamba2 kami yang beriman)[4]
Iman itu laut, cintalah ombaknya
Iman itu api, cintalah panasnya
Iman itu angin, cintalah badainya
Iman itu salju, cintalah dinginya
Iman itu sungai, cintalah arusnya[5]
( Riki Martim SH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar